Kamis, 02 Januari 2014

TERIMA KASIH!

Teman saya, seorang yang sukses memimpin berbagai perusahaan dan sangat populer di pergaulan, mempunyai kebiasaan yang sudah sangat dikenal oleh orang-orang yang dekat dengannya. Setiap percakapan melalui e-mail atau teks, selalu diakhirinya dengan kata : “terima kasih”.

Hal yang unik adalah ia ingin agar dialah yang menutup pembicaraan. Bila ucapan “terima kasih”-nya kita jawab, ia akan menambahkan komentar lain, supaya ia menjadi orang yang terakhir berucap dalam dialog itu. Pada sebuah kesempatan, saya tanyakan, mengapa ia mempunyai kebiasaan “manis” ini. Jawaban beliau sederhana saja : “Itu cara saya menghargai orang”.

Setiap orang memang bisa punya pandangan berbeda-beda mengenai ungkapan terima kasih. Seorang manajer pernah mengeluh bahwa ungkapan terima kasih yang ia sampaikan kerap dianggap otomatis oleh orang lain karena memang harus demikian. Itu sebabnya, ada pula orang yang merasa bahwa ungkapan tersebut bisa digantikan proses elektrik yang dilakukan oleh komputer. Bagi sebagian orang, ungkapan terima kasih dianggap sebagai sesuatu yang “ekstra”, yang hanya diberikan untuk tindakan-tindakan yang melampaui ekspektasi, bukan untuk tindakan sehari-hari. “Mereka dibayar untuk mengerjakan pekerjaan mereka, mengapa kita harus mengucapkan terima kasih?” ujar seorang owner perusahaan. Di sebuah organisasi yang tengah menggalakkan budaya “Smile & Thanks”, seorang karyawan bahkan berkata, “Saat saya menandatangani kontrakkerja dulu, tidak tertulis kewajiban untuk mengatakan terima kasih. Jadi, mengapa harus repot-repot?” Alangkah bertentangannya dengan teman saya di atas.

Kata terima kasih memang terasa begitu sederhana sehingga tanpa disadari sering terlewat dalam benak kita. Kita bisa jadi terlalu sibuk dengan kegiatan bisnis, berorganisasi, politik untuk bersikap “baik” pada orang lain. Kita mungkin lupa bahwa ungkapan terima kasih bisa mengandung “magic”. Kata terima kasih juga jelas mengandung rasa hormat dan menyalurkan rasa care yang berbobot emosi. Bila reward dan apresiasi untuk prestasi cemerlang, kerap kita tuangkan dalam program dan strategi untuk memotivasi karyawan, kita sering lupa bahwa situasi yang sehari-hari dan rutinlah yang lebih dominan di dunia kerja. Di sinilah kita sering kecolongan dan lupa menghargai seseorang di dalam tim dan hanya tergugah pada extra miles saja.

Bobot Emosi
Seorang teman terkejut ketika anak buahnya mengirim SMS terima kasih. Ketika ia tanyakan untuk apa, anak buahnya tersebut mengatakan ia berterima kasih karena diberikan tugas yang supersulit di pekerjaan. Setelah itu, mereka langsung bersahabat. Kita lihat, betapa kata terima kasih mempunyai bobot emosional. Dalam situasi sehari-hari, saat seseorang mengungkapkan terima kasih yang tulus, misalnya saat kita menahan pintu lift untuknya, bukan kah kita segera bisanmerasakan semburan kehangatan di dalam ekspresinya? Kata terima kasih bisa sangat ampuh untuk kita gunakan dalam menunjukkan kepedulian, menghargai niat baik dari seseorang terhadap orang lan. Di saat di mana kita semakin banyak menggantikan komunikasi tatap muka dengan kontak secara elektronik dan tertulis, dan mengkhawatirkan tidak adanya “jiwa” dalam komunikasi modern ini, alangkah bodohnya bila kita mengabaikan dua kata tersebut. Bukankah kita tidak punya risiko apa pun bila kita mengungkapkannya? Kita tentu tidak pernah bertemu orang yang marah atau pun sedih bila mendengar kita mengucapkan terima kasih, bukan?

“The Power of Thank You”
Dalam sebuah survei kecil di perusahaan dimana semua orang mengira bahwa hal yang dianggap palng penting oleh karyawan adalah upah, hasilnya ternyata penghargaan menduduki peringkat pertama. Ini bukti betapa kepedulian, care, dan apresiasi adalah prilaku manajerial yang penting dalamn organisasi. Hal ini tidak bisa ditampilkan hanya dalam “upacara” atau seremonial saja karena apresiasi ini justru perlu terasa dalam situasi harian. Deadline dan rutinitas pencapaian target sudah pasti menimbulkan tekanan yang membawa suasana menjadi bertegangan tinggi. Bila tidak hati-hati, di sinilah kita bisa kehilangan kesempatan membina trust dan hubungan baik, yang sesungguhnya adalah unsur utama dari kinerja dan motivasi tim.

Bila kita merasa kerja baik dan kerja keras saja cukup untuk membuat kita berhasil di tempat kerja, ternyata tidak selalu demikian kondisinya. Seorang teman saya tidak jadi mempromosikan anak buahnya ketika ia tidak mendapat jawaban atas ucapan terima kasihnya. Ia mengatakan, “Bila ungkapan terima kasih disepelekan, bagaimana ia akan meng-handle masalah interpersonal yang lebih penting? Hal yang penting dan ingin saya ketahui sebetulnya adalah apa yang ia pikirkan mengenai hubungan atasan-bawahan, hubungan antarmanusia, dan terutama hubungannya dengan perusahaan.” Ternyata, bagi sebagian orang, kata terima kasih ia nyatakan dengan cara yang berarti. Sebaliknya, ia pun menginginkan sikap yang sama.

Kita sering tidak sadar bahwa membuat kebiasaan kecil, seperti “say thank you” mempunyai dampak demikian besar pada kultur kelompok. Ada perusahaan yang mempunyai prosedur standar, dalam rencana proyeknya, yaitu tahapan “terima kasih”. Meski ada karyawan yang awalnya mengolok-olok, tetapi mereka meyakini betapa rutinitas menghargai dan mengucapkan terima kasih secara disiplin akan mengembangkan lingkungan kerja yang lebih positif dan apresiatif, yang ujung-ujungnya akan mendorong produktivitas. Bila kebiasaan mengucapkan terima kasih ini kemudian dikembangkan dengan mengucapkan alasan yang dibumbui dengan keterangan betapa action, orang tersebut sudah membuat kita beruntung, bayangkan betapa moral tim dan hubungan individu dalam kelompok bisa diperbaiki tanpa perlu mengeluarkan biaya mahal sama sekali.

Disadur dari : Kompas
Sabtu, 2 Maret 2013